Tuesday, February 23, 2010
kebaya terup-date
Kebaya, Sarung, dan Politik Pencitraan
Senin, 8 Februari 2010 | 07:40 WIB
istimewa
Oleh: Fandy Hutari
Membicarakan sejarah pakaian di Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan suatu hal yang menarik. Pakaian tidak sekadar penutup aurat, tetapi juga perlambang dari status sosial-ekonomi, bahkan politik. Pemerintah kolonial menciptakan pencitraan kekuasaan mereka melalui pakaian. Pakaian kaum Eropa dibedakan dengan kaum pribumi. Pribumi dilarang memakai pakaian kaum kulit putih. Dikotomi semacam itu dibangun terus pada masa kolonial.
Pakaian juga melambangkan kebesaran. Dalam buku Outward Appearances; Trend, Identitas, Kepentingan, Kees van Dijk melihat pakaian yang dikenakan kaum pribumi (terutama kalangan bangsawan) dipengaruhi oleh pakaian dari Persia, Arab Saudi, Turki, India, China, dan Belanda. Dijk juga menyebut Raja Ternate dan Amangkurat II mengesampingkan pakaian kerajaan mereka demi pakaian Belanda. Dijk bahkan berpendapat bahwa identitas pakaian tidak kalah berbahayanya dengan identitas agama serta keyakinan politik. Menurut dia, pakaian membuat orang bisa saling hantam, saling tikam, dan dapat saling bunuh. Contoh kasus yang diberikan Dijk adalah peristiwa terbunuhnya seorang ahli botani dari Inggris, Dr CB Robinson. Pada Desember 1913 Robinson mengunjungi Ambon. Saat itu ia berpakaian warna kaki gelap dengan topi beludru yang aneh. Ternyata pakaiannya ini membuat suku Buton Muslim menjadi ketakutan dan kemudian membunuhnya.
Kebaya, sarung, dan peci yang termasuk kategori pakaian juga memiliki simbol-simbol tertentu. Meski terkesan remeh, benda-benda itu juga mencerminkan identitas sang pemakai. Lebih jauh, kebaya, sarung, dan peci mengandung makna politis di dalamnya.
Kebaya, menurut Jean Gelman Taylor dalam Outward Appearances; Trend, Identitas, Kepentingan, merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan, ketika para perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870, kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari.
Seorang perempuan Eropa bernama Augusta de Wit memberikan kesaksian tentang gaya berpakaian orang Eropa di Hindia Belanda. Perempuan itu tiba di Tanjung Priok pada awal abad ke-20. Augusta terkesan melihat pakaian perempuan Eropa di Batavia. Ketika di ruang hotel, ia melihat serombongan orang Eropa sedang santai di beranda hotel. Ia menyebutkan bahwa kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya. Kebaya itu semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas. Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat di bagian depan dan diikat di pinggang dengan ikat pinggang sutera. Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala. Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Di saat santai itu mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung tipis dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada pula yang bergambar kupu-kupu dan naga (Ishwara, 2001).
Gaya busana Eropa totok dengan kaum Indo-Eropa ternyata sama. Kaum Indo-Eropa juga mengenakan kebaya dan sarung. Di tengah waktu luang, ketika santai di beranda rumah sambil menikmati secangkir kopi atau teh, mereka mengenakan kebaya, sarung, atau baju tidak berkerah. Namun, kebaya dan sarung yang dipakai kaum perempuan Eropa totok dan Indo-Eropa berbeda dengan apa yang dipakai perempuan pribumi dari penjaga kedai hingga istri seorang residen kolonial, di halaman istana (Koningsplein) atau di kampung, begitulah tulis Pamela Pattynama dalam menjelaskan kehidupan kaum Indis pada buku Recalling The Indies. Mungkin kebaya dan sarung yang dipakai oleh perempuan Eropa totok dan Indo-Eropa sudah sedikit dimodifikasi oleh mereka dan tampaknya mereka sengaja membedakan pakaian tersebut dengan perempuan pribumi. Kebaya pagi bagi perempuan Eropa dan Indo terbuat dari kain katun putih yang dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutra hitam.
Ada beberapa saran dari Catenius van der Meijden, seorang Belanda yang lahir di Hindia, tentang kebaya yang akan dikenakan perempuan Belanda yang mau mendampingi suami mereka di Hindia. Catenius van der Meijden, yang juga merupakan penulis buku Naar Indie en Terug: Gids voor het gezin, speciaal een vraagbaak voor dames, menulis bahwa kebaya yang dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan di Hindia. Catenius juga menyarankan agar tidak membawa pakaian terlalu banyak karena di Hindia semuanya sangat murah dibandingkan dengan di Belanda. Di samping itu, ia juga mengimbau para istri Belanda supaya memiliki 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, dan 6 kebaya rapi untuk tinggal di Hindia.
Tidak hanya kaum perempuan Eropa yang mengikuti pakaian pribumi. Anak-anak orang Belanda di Hindia juga mengenakan pakaian yang disebut oleh penduduk Melayu sebagai “celana monyet”. Pakaian ini hanya menutupi badan, sedangkan leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang. Tampaknya alasan yang paling mendasar orang Eropa mengenakan pakaian-pakaian itu adalah suatu upaya untuk mengatasi hawa panas di Hindia, yang tentunya berbeda dengan iklim di Eropa. Akan tetapi, pada 1920an, ada aturan yang melarang mereka mengenakan pakaian ini di ruang publik dan membiasakan kebiasaan lama, yaitu berbusana ala kolonial di kalangan publik. Pemakaian kebaya dan sarung tetap terpelihara, tetapi dibatasi hanya untuk dipakai di rumah. Sementara di luar rumah orang Eropa mengenakan pakaian Barat. Sekolah dan kerja mengharuskan pakaian rapi yang dilengkapi dengan sepatu.
Sekarang, kebaya masih dipakai kaum perempuan walau terbatas pada momen-momen tertentu dan jarang sekali terlihat di ruang publik. Yang ironis, kebaya sekarang justru lebih identik dengan perempuan yang telah beranjak tua di desa-desa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment